Perang Dunia I dan penutupan kawasan prostitusi New Orleans

Live jazz band at New Orleans museum of art. Photography by Bart Everson.

Satu jenis musik vernakular yang berakar dari Eropa dan dipadukan dengan Afrika dikenal publik Amerika Serikat pada tahun 1868 menggunakan gitar, trombon, piano, terompet, dan saksofon. Perpaduan aliran musik blues, ragtime dan musik Eropa, terutama musik band, merupakan bentuk awal musik jazz yang berkembang lintas jaman hingga ke bentuknya yang terdapat sekitar tahun 1915-1917.

Para musisi jazz New Orleans tampil di bar, tempat perjudian, dan prostitusi yang di masa itu tumbuh subur. Tidak mengherankan bila penontonnya tidak terlalu memperhatikan permainan mereka. Tidak ada yang menilai cara bermusik mereka di saat para tamu lebih terpikat dengan dorongan hedonisme. Akibatnya kawasan lampu merah bernama Storyville ini menciptakan sebuah ekosistem unik yang menyuburkan kreativitas pemusik di mana mereka memiliki kebebasan lebih untuk tampil secara eksperimental, banyak di antaranya yang menampilkan karya kontemporer, tidak pernah ada di mana pun sebelumnya. 

Pada tahun 1917, meski mendapat tentangan dari pemerintah kota setempat untuk menutup Storyville yang sebenarnya sudah diperuntukkan guna mengendalikan dampak buruk prostitusi dan alkohol di New Orleans, atas permintaan militer AS pemerintah pusat menutup kawasan tersebut. Selain berjarak cukup dekat dengan sebuah pangkalan militer di kota itu, penyebab utama penutupan adalah fokus Amerika Serikat yang sedang bersiap memasuki Perang Dunia I dengan tujuan mobilisasi ke Perancis. Menurut petinggi militer, selain membekali dan melindungi para pasukannya dengan seragam tempur yang memadai, negara bertanggung jawab pula melindungi mereka dengan jubah moral dan intelektualitas.   

Pada masa itu, kaum kulit hitam di New Orleans memainkan musik yang memiliki corak khas sehingga disebut jazz New Orleans. Iramanya sempat dikaitkan dengan makna negatif. Selain dari kata jazz yang mengarah pada makna seksual, para musisi memainkan jazz di tengah kalangan buruh dan pekerja harian di tempat prostitusi yang sedang booming di sana. Reputasi ini membuat orang Indonesia awam masa kini yang beranggapan bahwa jazz musik kelas atas hanya pantas didengar di bar, hotel, panggung berAC sungguh terlihat ironis dalam ketidaktahuannya.  

New Orleans juga sempat disebut sebagai rumah bagi para penikmat jazz di Amerika. Popularitas ini turut disumbangkan oleh faktor terciptanya lingkungan yang kondusif untuk interaksi antar etnis, yaitu mulai datangnya pemusik kulit putih ke Storyville yang awalnya didominasi oleh pemusik kulit hitam. Akibatnya penonton mereka pun makin kerap berbaur di lingkungan tersebut. 

Louis Armstrong, Sidney Bechet dan Jelly Roll Morton adalah sebagian dari musisi jazz yang lahir di New Orleans. Louis Armstrong pindah ke Chicago setelah penutupan daerah prostitusi di New Orleans. Ia adalah satu dari gerombolan musisi yang menelusuri Sungai Mississippi ke arah utara hingga Detroit. Di tahun 1920-an jazz telah berkembang pesat di New York, Chicago dan Memphis.

Kini sangat langka ditemukan bentuk rumah bordil di kawasan prostitusi bersejarah Storyville. Namun New Orleans Jazz Festival sudah menjadi agenda rutin positif yang mampu mengundang musisi terkenal dari seluruh penjuru negeri.



Kartu pos yang memperlihatkan deretan gedung di Storyville, di antaranya adalah rumah bordil. Basin St. Down the Line New Orleans. George Francois Mugnier. 1909. Public domain via Wikimedia Commons.

No comments:

Post a Comment